Rabu, 06 Juli 2011

Pada zaman dahulu di Amuntai ada seorang
yang saktimandraguna yang bernama
Sulaiman , beliau diberi gelar Datu Burung.
Datu artinya tetua masyarakat yang
mempunyai kesaktian tinggi.Burung sejenis
unggas.Beliau diberi gelar Datu Burung karena beliau mampu duduk di atas daun
pisang dan daun pisang itu tidak patah. Datu
Burung sebenarnya bukan asli orang
Amuntai, tetapi asli penduduk Martapura. Pada abad ke-18 suami istri – utuh dan aluh
– pergi Martapura untuk bertandang ke
tempat keluarga dengan menggunakan
perahu (jukung besar). Ketika mau pulang
atau meninggalkan Martapura ternyata ada
seorang bayi di dalam perahunya itu. Setelah diumumkan kepada penduduk Martapura
bahwa yang memiliki anak yang ada di
dalam perahunya mohon diambil.Mendengar
pengumuman itu orang pun berduyun-
duyun mendatangi perahu ma aluh. Ternyata
tidak ada yang kenal dengan bayi itu. Karena itu, bayi itupun dibawa ke Amuntai. Bayi itu ternyata bukan bayi biasa. Dia mempunyai keistimewaan.Antara lain , tidak mau menyusu, hanya mau minum air putih saja. Bila sampai waktu salat dia terbangun dari tidurnya, jika jaga, dia menangis. Bila tiba bulan puasa tidak mau minum pada siang hari selama bulan puasa itu. Semakin lama semakin besar anak itu , semakin terlihat kesaktian dan kekuatannya : Suatu hari sampai kabar ke telinga beliau bahwa Belanda mau menyerang kota Amuntai.Penyerangan Belanda dilakukan lewat Sungai Negara dengan menggunakan kapal laut. “Datu ! Belanda mau menyerang kampung
kita, mereka sedang dalam perjalanan
menuju ke sini” kata salah seorang warga
kampung melapor. “Tenang, mereka takkan sampai ke sini” sahut Datu Sulaiman. “Mereka sudah dekat Datu, mari kita siapkan segalanya” kata sang pelapor. “Baik, panggil semua kawan-kawan, kumpulkan semua disini” kata Datu. Setelah semua kawan-kawan pejuang berkumpul, beliau mengajak mereka ke tepi sungai Negara. Beliau mencari tali, lalu dibentangkan melintang ke seberang sungai. “Untuk apa tali itu dibentangkan Datu?” Tanya salah seorang yang hadir. “Untuk menghalangi kedatangan Belanda ke daerah kita ini” sahut beliau. Benar saja, ketika Belanda mendekati kota Amuntai, mereka lihat sungai yang mereka arungi buntu akhirnya merekapun berbalik arah, tidak jadi menyerang kota Amuntai dan
sekitarnya. Apabila beliau ingin makan ikan, ikan yang sedang berkeliaran bebas di sungai beliau ambil begitu saja, tanpa menggunakan alat yang lazimnya dipakai orang. Bila beliau ingin mengurung (menangkap) ikan yang berkeliaran di sungai, beliau pancangkan empat buah bilah atau tongkat berbentuk segi empat, maka ikan yang berada diantara keempat bilah itu tidak bisa bebas atau terlepas. Suatu hari beliau menanam pohon kutapi di depan rumah. Kepada keluarganya beliau mengatakan dan berpesan agar pohon kutapi
ini dipelihara karena kalau kutapi ini pohonnya besar seperti pohon kapuk, berarti ajal beliau sudah tiba. Ternyata benar, setelah pohon kutapi itu besar, beliau pun meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia beliau sempat berwasiat, yaitu agar dimakamkan di kampung Padang Basar, tetapi ketika beliau meninggal dunia, pemerintah setempat menguburkannya di Kampung Pakacangan. Karena tidak sesuai dengan wasiat, maka pada malamnya salah seorang keluarganya bermimpi bahwa Datu Sulaiman kembali berkubur ke tempat yang telah diwasiatkan yaitu Kampung Padang Basar. Mimpi tersebut pada siangnya diceritakan kepada keluarga lainnya, lalu mereka bongkar kubur di Kampung Pakacangan, aneh mayatnya benar-benar tidak ada di dalam kubur tersebut, dan mereka hanya menemukan buluh barencong. Sedangkan di Kampung Padang Basar muncul sebuah onggokan tanah, dan onggokan tanah itulah yang diyakini oleh masyarakat sekitar adalah sebagai kubur sang Datu dan kubur itulah yang sampai sekarang banyak diziarahi orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar